Pena vs Keyboard dalam Pertarungan Kreativitas Menulis
Seperti yang kita ketahui, menulis adalah proses mengekspresikan pikiran, gagasan, atau perasaan melalui rangkaian huruf, kata, dan kalimat yang tertuang dalam sebuah media, baik itu kertas, blog, laman artikel, majalah, koran, dan masih banyak lagi.
Sejak zaman dahulu, manusia telah menggunakan berbagai alat untuk menulis, mulai dari batu, tanah liat, hingga perkamen yang mungkin saat ini menjadi peninggalan bagi kita.
Nah, di era modern ini terjadi perdebatan menarik, yaitu terkait pena tradisional dan keyboard digital.
Manakah yang sebenarnya lebih baik dalam hal mengembangkan ide dan kreativitas menulis?
Pena vs Keyboard, Ada yang Lebih Baik?
Banyak penulis mengatakan bahwa menulis dengan pena lebih membantu kita dalam mengembangkan kreativitas.
Pada tahun 2014, Mueller dan Oppenheimer melakukan penelitian dimana mahasiswa yang mencatat dengan tulisan tangan dapat mengingat materi konseptual lebih baik dibandingkan yang menggunakan laptop.
Kenapa bisa begitu? Ini karena menulis dengan tangan ternyata memaksa otak untuk memproses informasi lebih dalam dan merangkumnya dengan bahasa sendiri, tidak sekadar mengetik kata per kata saja.
Sentuhan pena pada kertas ternyata menciptakan koneksi langsung antara tangan dan otak yang sulit ditandingi oleh ketukan jari di keyboard.
Namun jangan salah, keyboard juga punya keunggulan tersendiri, loh.
Kecepatan ketika kita mengetik dengan keyboard memungkinkan jari-jari mengejar laju pikiran yang cepat—sesuatu yang dengan pena kadang kita kesulitan mengimbanginya.
Kebebasan kita untuk mengedit, menghapus, dan mengatur ulang kata tanpa jejak membuat proses penyuntingan juga jauh lebih lancar, kan
Apalagi, kini kita sudah berada di era yang serba digital, pena dan kertas semakin jarang digunakan karena banyak tools yang saat ini dapat mendukung efektivitas!
Tapi, Kenapa Bisa Berbeda?
Nah, untuk membahas hal ini, kita bisa mengkaji melalui perspektif psikologi kognitif, bahwa ternyata, menulis dengan pena dan keyboard mengaktifkan area otak yang berbeda.
Menulis tangan melibatkan gerakan halus dan berbagai keterampilan motorik, hal ini mengaktifkan area otak yang berhubungan dengan memori dan pemahaman.
Seorang ahli grafologi, Dr. Marc Seifer, menjelaskan bahwa tulisan tangan melibatkan “pemikiran tersambung”, yaitu proses yang melibatkan area sensorik, bahasa, dan pemikiran di otak.
Sementara mengetik cenderung memisahkan proses fisik dari proses kognitif, sehingga akan memungkinkan pikiran mengalir lebih bebas tanpa terhambat keterampilan motorik dalam menulis.
Adakah Tips & Trick yang Sebaiknya Diterapkan dalam Menulis?
Nah, ini beberapa tips dan trik yang bisa kamu pakai dalam menulis:
- Kenali ritme personal kamu. Iya, ada beberapa orang lebih suka dan produktif dengan pena, dan yang lain dengan keyboard. Nah, coba kamu eksplor keduanya, mana yang lebih nyaman untukmu.
- Kamu bisa juga menggunakan keduanya. Misalnya, mulai konsep dan brainstorming dengan tulisan tangan, lalu beralih ke komputer untuk pengembangan dan penulisan lanjutan untuk tulisanmu.
- Bangun “kebiasaan menulis” kamu. Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, ya! Bisa dengan menyiapkan jurnal dan pena favorit, atau mengatur workspace digital yang nyaman untukmu.
- Hindari hal-hal yang mengganggu. Jika menggunakan komputer, kamu bisa mematikan notifikasi dan aplikasi yang tidak diperlukan.
- Boleh gunakan tools yang bervariasi sesuai kebutuhanmu. Misalnya nih, kamu sedang ingin menggunakan pena untuk eksplorasi ide atau pemetaan konsep cerita, lalu kamu bisa menggunakan keyboard untuk melanjutkan tulisanmu.
Menariknya, Menulis dengan Tools Apapun Masih Menjadi Kegemaran Banyak Orang, Loh!
Iya, walaupun kini kita sudah berada di era yang serba digital, komunitas penulis dan journaling di Indonesia justru berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hashtag #Journaling dan #BuJo (Bullet Journal) membanjiri media sosial, ini menunjukkan bahwa tulisan tangan masih memiliki daya tarik tersendiri di era digital.
Tapi, tahukah kamu bahwa J.K. Rowling⎯iya, penulis terkenal itu⎯menulis draft pertama novel Harry Potter dengan tulisan tangan di atas serbet kertas di sebuah kafe? Wah, tidak disangka, ya.
Adapula George R.R. Martin, penulis seri Game of Thrones, yang masih setia menggunakan komputer jadul WordStar 4.0 yang bahkan tidak terhubung internet untuk menghindari gangguan.
Pada akhirnya, perdebatan mengenai pena vs keyboard bukanlah tentang mencari pemenang yang sesungguhnya, melainkan sebuah proses dimana kita menemukan alat yang memperkuat kreativitas, tumbuh, serta kembangnya kita di dunia kepenulisan, loh.
Intinya, ide-ide kita itu harus bisa mengalir, entah melalui goresan tinta atau ketukan tombol, benar tidak?
Referensi
Berninger, V. W., & Abbott, R. D. (2010). Listening comprehension, oral expression, reading comprehension, and written expression: Related yet unique language systems in grades 1, 3, 5, and 7. Journal of Educational Psychology, 102(3), 635–651. https://doi.org/10.1037/a0019319.
Longcamp, M., Boucard, C., Gilhodes, J. C., & Velay, J. L. (2008). Learning through hand- or typewriting influences visual recognition of new graphic shapes: Behavioral and functional imaging evidence. Journal of Cognitive Neuroscience, 20(5), 802-815. https://doi.org/10.1162/jocn.2008.20504.
Mueller, P. A., & Oppenheimer, D. M. (2014). The pen is mightier than the keyboard: advantages of longhand over laptop note taking. Psychological science, 25(6), 1159–1168. https://doi.org/10.1177/0956797614524581.
Seifer, M. (2009). The definitive book of handwriting analysis: The complete guide to interpreting personalities, detecting forgeries, and revealing brain activity through the science of graphology. Career Press.
Ditulis oleh:
Mahira I. Hanandhya
Saya adalah seseorang yang gemar sekali membaca dan menulis. Saat ini, saya sedang duduk di bangku perkuliahan sebagai salah seorang mahasiswa Psikologi.
Akun Instagram: @mahiraih