Uncategorized

Buku, Cinta, dan Kenangan

Setiap penikmat buku akan mengalami hal-hal tak terduga yang membuatnya bertambah cinta pada buku. Masing-masing dari kita tentu merasakan sensasi yang berbeda. Apa saja kenanganmu bersama buku? Kapan-kapan ceritakanlah padaku, kawan. Hari ini, izinkan aku yang bercerita. 

Dulu, antara tahun 2000 sampai 2015, dunia perbukuan bisa dikatakan dalam suasana ‘pesta’. Banyak penulis, penerbit dan distributor buku yang bergerak masif menyapa para pembaca. Mereka hadir tidak hanya di toko buku, tetapi juga di kampus, di ruang-ruang publik dan bahkan mampu mengadakan acara besar seputar buku di gedung-gedung megah.

Banyak kawula muda yang tergugah untuk menjadi penulis. Seiring dengan itu, penerbit baru terus bermunculan. Jumlah distribusi buku meningkat. Kondisi ini berdampak pula pada berdirinya Taman Baca Masyarakat (TBM) di pedesaan. Bergiat mencerdaskan anak bangsa di pelosok-pelosok negeri.

Teringat kisah unik yang dialami salah satu penerbit besar di Yogyakarta. Penerbit ini memiliki program menjual buku secara langsung dengan mendatangi tempat-tempat yang dianggap prospek. Tidak tanggung-tanggung, pihak penerbit menggunakan truk untuk mengangkut buku-buku yang akan di jual.

Suatu ketika, armada truk melintasi sepanjang pulau Sumatera. Mengejutkan! Sseluruh buku habis terjual. Bahkan armada truknya pun ikut terjual. Akhirnya, sopir dan karyawan lainnya bersuka ria pulang ke Yogyakarta menggunakan pesawat.

Betapa indahnya tahun-tahun itu. Rasa-rasanya, geliat literasi menuju masa depan cerah. Tingkat intelektualitas masyarakat Indonesia pun bisa masuk di urutan tertinggi dunia. Sayang, nyatanya kualitas pendidikan kita belum berkembang pesat. Ganti menteri, ganti kebijakan, tentunya ganti kurikulum yang membuat guru dan murid serta orang tua mesti belajar memahami, berulang kali.

Terkait buku, memang semua Menteri Pendidikan menyarankan masyarakat untuk gemar membaca buku. Namun, tidak semua menteri ‘mampu’ menjaga ekosistem buku. Penulis dan penerbit dirugikan oleh maraknya pembajakan buku. Belum ada kebijakan tegas dari pemerintah untuk bisa menghentikan kerugian itu.

Menyikapi maraknya pembajakan buku, para pegiat literasi terus melakukan kampanye. Mereka berkesempatan memberi edukasi tentang dampak negatif buku bajakan. Seluruh perpustakaan daerah, kampus, sekolah, dan TBM memastikan bahwa koleksi buku-buku yang disediakan bukanlah bajakan. Artinya, pihak pembeli buku bajakan adalah personal yang menginginkan buku ilegal dengan harga murah, kualitas rendah. 

Sebagai penikmat buku, tentu saya sangat bersyukur bisa merasakan momen indah di kala itu. Datang ke acara bazar buku yang rutin diadakan di berbagai tempat. Begitu ramai, begitu semarak. Belum lagi kesempatan emas bisa tergabung dalam komunitas penulis yang mempertemukan anggotanya dengan tokoh-tokoh penulis skala nasional. Banyak pemahaman baru yang semakin menggugah minat baca dan menulis.

Ada sebuah komunitas yang pernah saya ikuti, namanya Mata Pena. Komunitas ini konsen di bidang sastra. Perintis dan pengurusnya adalah para penulis yang telah menghasilkan karya sastra berupa buku novel, kumpulan cerpen dan kumpulan puisi. Buku-buku hasil karya komunitas mampu diterbitkan melalui jejaring yang senapas, yakni Penerbit LKiS. Lalu bisa dijual dengan perhitungan yang layak. Komunitas Mata Pena rutin mengadakan acara Liburan Sastra Di Pesantren atau disingkat LSDP.

Pertama kali diadakan LSDP, ternyata peminatnya tinggi, pesertanya datang dari berbagai pesantren di Pulau Jawa. Acaranya berlangsung selama tiga hari, full kegiatan, mulai pagi sampai malam. Kami dilatih untuk menulis dengan baik. Kami belajar langsung dari sastrawan populer yang produktif berkarya.

Agenda kegiatan LSDP bukan hanya menulis biasa, tetapi juga menulis kreatif yang nantinya bisa dikembangkan menjadi naskah skenario untuk teater. Biasanya, di hari ketiga telah dipilih salah satu karya cerpen dari peserta untuk diangkat dalam drama teater. Pagi atau siang hari seluruh peserta LSDP latihan teater, kemudian malam harinya tampil di atas panggung. 

Esok harinya seluruh peserta dipersilakan kembali ke tempat asalnya masing-masing. Mata Pena sangat terbuka bagi alumni program LSDP yang ingin turut andil di komunitas, misal menjadi panitia di program agenda berikutnya. Bisa juga menerbitkan karyanya melalui Komunitas Mata Pena.

Kini, Komunitas Mata Pena tinggal kenangan. Mustahil berharap akan ada Komunitas seperti Mata Pena lagi. Gelombang perubahan besar telah menerjang ruang literasi di berbagai lini. Perlu ada sekelompok anak muda yang gigih merintis komunitas berdaya juang tinggi, mempunyai ide-ide brilian tingkat tinggi dan kuat secara finansial. Siapakah yang bisa? Saya tunggu kabar baiknya, sebab saya sudah tidak mampu, sudah tidak lagi muda. 

Penulis

Muhamad Taufik, lahir di Denpasar Bali. Petani dan penikmat buku. Kini, tinggal di Bantul DI. Yogyakarta.

Kawan Pena Penulis

Tempat bagi para penulis pemula maupun berpengalaman belajar bersama dan meningkatkan kemampuan menulis. Yuk, kita belajar menulis bersama dan berbagi inspirasi melalui kata!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *